Surabaya – Hakim PN Surabaya bernama Sudar diduga kembali melakukan tindakan yang tidak etis dan janggal sebagai penegak hukum yang seharusnya terhormat.
Dugaan tindakan tidak etis dan janggal berkaitan atas putusan Niet Ontvankelijke Verklaard atau Putusan NO dalam gugatan wanprestasi diajukan direktur CV Kraton Resto, Fifie Pudjihartono.
Karena merasa ada tindakan tidak etis dan kejanggalan putusan, akhirnya Fifie melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA)
Pengaduan ke KY dan Bawas MA tersebut atas putusan yang dianggap Fifie tidak memenuhi rasa Keadilan dalam gugatan wanprestasi CV.Kraton Resto selaku menajeman restoran Sangria by Pianoza terhadap Tergugat Ellen Sulistyo selaku pengelola restoran
Dalam pengaduan atau laporan tersebut, Fifie diwakili kuasa hukumnya terdiri dari Erlina Nurhayati, S.H., dan Bambang Surianto, S.H., M.Hum. M.Tr.Hanla,
CPL., CPCLE., mengadukan tiga hakim PN Surabaya.
Ketiga hakim tersebut adalah Sudar, S.H., M.Hum (Hakim Ketua), Mochammad Djoenaidie, S.H.,M.H. (Hakim nggota) dan Suswanti, S.H., M.Hum (Hakim nggota)
Pertimbangan hukum atas putusan NO tersebut sangat melenceng dari norma-norma hukum, karena alasan majelis hakim dalam pertimbangannya sangat mengada-ada yakni kurang pihak dan gugatan kabur.
Menurut hakim, kurang pihak karena tidak menyertakan Notaris Ferry sebagai para pihak dan gugatan kabur karena pihak Turut Terggugat II, bukanlah Kodam V/Brawijaya, namun mantan Pangdam V/Brawijaya, Kustanto pribadi sebagai pihak terkait.
Menurut Penggugat, jelas pertimbangan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana pasal 1320 KUHPer (Perjanjian sudah SAH demi Hukum meskipun tanpa melibatkan Notaris).
Dan Pasal 1338 KUHPer, dimana Mayjen Kustanto selaku pemegang otoritas tertinggi yang mewakili untuk dan atas nama Kodam V/Brawijaya adalah SAH atas nama institusi karena perihal tersebut adalah untuk kepentingan Kodam V/Brawijaya bukan kepentingan pribadi.
Dari pasal dan penjelasan tersebut, Penggugat menganggap majelis hakim patut diduga sangat Khilaf dalam pertimbangannya.
Ada beberapa dasar dan pertimbangan Fifie selaku Penggugat melalui kuasa hukumnya melakukan laporan atau pengaduan ke KY dan Bawas MA terkait dengan putusan perkara No. 864/ Pdt.G/ 2023/ PN.Sby atas dugaan Pelanggaran Kode Etik dan kekhilafan yang patut diduga ada keberpihakan dari Majelis hakim kepada Tergugat I.
Pertama, pada saat sidang sebelum ditutup, Tergugat I ingin mengajukan ahli, namun ditolak oleh hakim karena sudah lewat agenda pemeriksaan, dan diterima oleh kuasa Tergugat I untuk tidak mengajukan ahl, sehingga sidang ditutup dan palu diketok hakim.
Kedua, pada agenda sidang berikutnya, yang seharusnya agenda kesimpulan, oleh kuasa Tergugat I mengajukan kembali ahli dan anehnya dikabulkan oleh majelis hakim,.
Sehingga terbukti najelis hakim telah menganulir keputusannya sendiri pada saat sidang sebelumya yang menolak permohonan kuasa hukum Tergugat I untuk mengajukan ahli.
Atas dikabulkannya permohonan pengajuan Ahli oleh kuasa hukum Tergugat I, maka kuasa Penggugat dan kuasa Tergugat II menolak keras karena sudah diputus oleh majelis hakim bahwa jadwal untuk ahli sudah lewat dan masuk pada agenda kesimpulan.
Ketiga, dalam hal pencatatan yang dilakukan oleh Panitera Pengganti bernama Dicky Aditya Herwindo, S.H., M.H., tidak mencatat keseluruhan keterangan kesaksian ahli dan saksi fakta yang menguntungkan Penggugat pada saat persidangan.
Hal itu terbukti pada Salinan Putusan No.864/Pdt.G/2023/PN.Sby., ada beberapa hal yang penting di persidangan tidak termuat pada salinan putusan.
Dari pengamatan Penggugat berdasarkan fakta dalam persidangan apa yang dilakukan oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo tidak ada ketegasan dalam mewujudkan hukum acara perdata yang membuat tidak adanya kepastian hukum dalam hukum acara, dan tidak memberikan rasa keadilan bagi Penggugat.
Hal itu terlihat dan terbaca dalam salinan putusan yang tidak lengkap dan diduga beberapa hal fakta diduga sengaja dihilangkan, sehingga persidangan pemeriksaan gugatan Penggugat yang telah diperiksa dan diadili oleh majelis hakim sangat merugikan Penggugat.
Dan hal itu juga cenderung mengesampingkan rasa keadilan dalam memeriksa perkara a quo sehingga melanggar kode etik hakim dan dapat berakibat menjadi suatu kekhilafan dalam putusan majelis hakim yang akan menjadi yurisprudensi dalam perkara yang lain.
Setidaknya dari tiga dasar dan pertimbangan tersebut, Fifie selaku Penggugat memohon kepada Komisi Yudisial (KY) dan Bawas MA melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan kekhilafan majelis hakim.
Perlu diketahui, putusan NO dalam perkara gugatan wanprestasi ini berawal dari perjanjian kerjasama pengelolaan restoran Sangria by Pianoza yang dulu bernama The Pianoza.
Restoran itu berada di sebuah bangunan megah 2 lantai di jalan Dr. Soetomo 130 Surabaya yang dibangun oleh CV Kraton Resto selaku Investor dengan masa sewa selama 30 tahun kepada Kodam V/Brawijaya atas tanah Barang Milik Negara (BMN) yang dikuasai oleh Kodam V/Brawijaya.
Kemudian CV Kraton Resto atau Penggugat yang diwakili Tergugat II bekerjasama dengan Tergugat I (Ellen Sulistyo) untuk mengembangkan usaha resto tersebut, dengan nama brand baru Sangria by Pianoza.
Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan tersebut, di tuangkan dalam akte perjanjian nomor 12 tertanggal 27 Juli 2022 ditandatangani oleh CV.Kraton Resto dan Ellen Sulistyo didepan Notaris Ferry Gunawan.
Dalam perkembangan pengelolaan restoran, Ellen Sulistyo dianggap melakukan wanprestasi dengan tidak menepati beberapa isi perjanjian, sehingga Fifie selaku direktur CV Kraton Resto menggugat Ellen Sulistyo ke PN Surabaya.
Isi perjanjian yang dianggap tidak ditepati oleh Ellen antara lain, tidak ada laporan beberapa bulan omset restauran, tidak membayar PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) ke dua, adanya gaji direksi sebesar Rp.30 juta/bulan selama 3 bulan.
Ada juga profit sharing minimal sebesar Rp.60 juta /bulan hanya beberapa kali dibayarkan, tidak adanya pertanggungjawaban keuangan, dan beberapa pengeluaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh Ellen.
CV.Kraton Resto menganggap perbuatan Ellen yang paling parah adalah tidak membayar PNBP yang mambuat pihak Kodam V/Brawijaya menutup atau menyegel bangunan yang difungsikan sebagai restoran Sangria by Pianoza.
Ada keheranan dari pihak CV.Kraton Resto kenapa beberapa isi perjanjian tidak ditepati oleh Ellen, padahal ada omset sekira Rp.3 miliar masuk direkening pribadi Ellen di bank Mandiri.
Sesuai dengan akte perjanjian kerjasama pengelolaan restoran, tercantum butir bahwa pengelola restoran harus membayar PNBP.
Kenapa harus ada pembayaran PNBP ke Kodam V/Brawijaya, hal itu berasal dari penandatanganan MOU dilanjutkan dengan SPK dalam pemanfaatan aset tanah TNI AD dhi.Kodam V/Brawijaya antara Kodam V/Brawijaya dengan CV.Kraton Resto.
Menindaklanjuti MOU dan SPK, CV.Kraton Resto membangun bangunan megah berlantai 2 untuk difungsikan sebagai restoran, dan dalam pembangunan menghabiskan anggaran lebih dari Rp 10 miliar.
Dalam MOU tercantum masa sewa selama 30 tahun dibagi 6 periodesasi, dalam satu periodesasi jangka waktu 5 tahun. Dan pembayaran PNBP periodesasi pertama telah lunas.
Beberapa bulan memasuki periodesasi kedua, ada perjanjian pengelolaan antara CV.Kraton Resto dengan Ellen Sulistyo, yang mana Ellen harus membayar PNBP kedua dari hasil pengelolaan restoran,
Namun kenyataannya PNBP tidak dibayarkan oleh Ellen, sehingga Kodam V/Brawijaya menyegel atau menutup bangunan yang difungsikan sebagai restoran tersebut.
Ada hal janggal dalam penutupan atau penyegelan bangunan tersebut. Kejanggalannya terlihat pada 11 Mei 2023, karena pengelola tidak membayar PNBP, akhirnya CV Kraton (Tergugat II) menjaminkan emas senilai kurang lebih Rp.625 juta untuk jaminan pembayaran PNBP.
Namun sehari kemudian, tepatnya 12 Mei 2023, Kodam V/Brawijaya menutup atau menyegel bangunan restoran itu dengan dalih tidak membayar PNBP kedua. @redho fitriyadi